Sejarah

SEJARAH BERDIRINYA UNS

Sebelas Maret jam 10.00 pagi, dengan dibacanya Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang pembukaan “Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret”, maka Universitas Sebelas Maret (UNS) resmi berdiri sebagai Perguruan Tinggi Negeri di Solo. Pemandangan yang meriah meramaikan peresmian universitas negeri yang telah ditunggu kelahirannya sejak lama itu. Cikal bakal UNS sendiri dapat dirunut jejaknya dari 1950-an.

Pada masa itu, Solo telah memiliki keinginan untuk mendirikan sebuah universitas negeri sendiri, mengingat kota lain telah memiliki universitas yang umurnya bahkan telah mencapai puluhan tahun. Namun, akibat perang, penyatuan pemerintahan, kekeruhan arus politik, ekonomi rakyat rusak, dan lain-lainnya, universitas negeri di Solo belum dapat diwujudkan.

Pada 1953, setelah semua kekacauan berakhir, timbul keinginan mewujudkan universitas itu kembali. Hal ini mengingat Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa asli, serta terdapat potensi yang besar di lapangan perguruan, baik tenaga pengajar dan siswanya. Panitia pendirian universitaspun dibentuk, dengan ketua Mohammad Saleh, Wali Kota Solo saat itu. Hanya saja, usaha ini gagal sebelum sempat dimulai.

Penyebabnya adalah tidak adanya sumber keuangan baik dari pemerintah daerah dan pusat, timbulnya keinginan sementara golongan untuk mendirikan universitas swasta secara sendiri-sendiri, dan kurang mendapat simpati beberapa orang dari Universitas Gajah Mada. Adanya hambatan dan pembangunan yang sedang dilakukan di Kota Solo membuat gagasan pendirian itupun lenyap. Hal itu ditambah pula dengan kegaduhan politik antarpartai yang berebut kekuasaan di pemerintahan.

Sepuluh tahun kemudian, pada 1963, mendadak muncul Universitas Kota Praja Surakarta (UPKS). Universitas ini diinisiasi oleh pemerintah daerah kala itu, yang dipimpin oleh Utomo Ramelan. Di masa ini pula, Partai Komunis tengah tumbuh dengan baik. Berbagai lini kehidupan juga terpengaruh keadaan itu. Begitu pula dengan UPKS, ilmu tentang sosialisme berkembang di dunia pendidikan universitas. Umur universitas ini juga tidak lama. Saat peristiwa G30 S pecah di Indonesia, universitas ini pun akhirnya terkubur karena semua hal yang berbau sosialisme/komunisme kemudian dilarang.

Ide pendirian kembali muncul pada 11 Januari 1968, saat R. Kusnandar menjabat sebagai walikota pada saat itu. Ia kemudian membentuk panitia pendiri, namun sama seperti panitia sebelumnya, panitia ini juga gagal mewujudkan ide tersebut. Penyebabnya juga masih sama seperti sebelumnya, pemerintah pusat tidak bisa mendanai gagasan pendirian PTN baru di Solo dan juga minimnya perekonomian daerah saat itu.

Di saat yang hampir bersamaan, pada 1966, Universitas Nasional Saraswati pun mengajukan dirinya untuk menjadi universitas negeri. Hal itu diperbolehkan oleh menteri. Kemudian, beserta universitas swasta dan kedinasan lainnya, sekumpulan universitas ini menjadi satu universitas baru bernama Universitas Gabungan Surakarta (UGS). Pada 1 Juni 1975, delapan universitas yang tergabung dalam UGS resmi didirikan. Kedelapan universitas itu adalah : STO Negeri Surakarta, PTPN Veteran Surakarta, AAN Saraswati, Universitas Cokroaminoto, Universitas Nasional Saraswati, Universitas Islam Indonesia cabang Surakarta, Universitas 17 Agustus 1945 cabang Surakarta, dan Institut Jurnalistik Indonesia Surakarta.

Pada penghujung Desember 1975, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meninjau UGS dan memastikan bahwa pada 11 Maret 1976, UGS akan dinegerikan.

Selanjutnya, UGS akan digabung dengan perguruan tinggi negeri dan swasta lain untuk membentuk universitas negeri di Solo. Perguruan tinggi tersebut adalah: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri, Sekolah Tinggi Olahraga, Akademi Administrasi Niaga Negeri yang sudah diintegrasikan ke Akademi Administrasi Niaga Negeri di Yogyakarta, Universitas Gabungan Surakarta, Fakultas Kedokteran P. T. P. N. Veteran cabang Surakarta. Universitas tersebut terdiri atas 9 fakultas, yaitu: Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan, Fakultas Sastera Budaya, Fakultas Sosial Politik, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian serta Fakultas Teknik.

Dengan tuntasnya persiapan, akhirnya Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret resmi berdiri pada 11 Maret 1976. Sejak tahun 1977, UNS memiliki kampus induk terpadu di Kentingan, Jebres, Surakarta seluas + 60 ha yang diperoleh dari Walikota Surakarta melalui Surat Keputusan Walikota Surakarta tanggal 18 Oktober 1976 nomor 238/Kep/T3/1976. Dalam perkembangannya, pada tahun 1982 nama dan singkatan Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret Surakarta (UNS Sebelas Maret), ditetapkan menjadi Universitas Sebelas Maret yang disingkat UNS. Perubahan nama dan singkatan ini diresmikan dengan Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1982.

SEJARAH BERDIRINYA FK UNS

Sejarah berdirinya Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret tidak terlepaskan dari sejarah Universitas Sebelas Maret yang diresmikan pada tanggal 11 Maret 1976, dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1976 tanggal 8 Maret 1976 yang semula bernama Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret disingkat UNS, yang merupakan penyatuan dari lima unsur perguruan tinggi yang ada di Surakarta pada waktu itu. Lima Perguruan Tinggi tersebut adalah :

  1. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Surakarta.
  2. Sekolah Tinggi Olahraga (STO) Negeri Surakarta.
  3. Akademi Administrasi Niaga (AAN) Surakarta
  4. Universitas Gabungan Surakarta (UGS) yang merupakan gabungan beberapa Universitas Swasta Surakarta. Dari keempat Universitas Swasta tersebut yang memiliki Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Indonesia Cabang Surakarta
  5. Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional (PTPN) Cabang Surakarta di bawah Departemen Hankam.

Pada saat kelahirannya, Universitas Sebelas Maret terdiri dari 9 Fakultas :

  1. Fakultas Ilmu Pendidikan
  2. Fakultas Keguruan
  3. Fakultas Sastra Budaya
  4. Fakultas Sosial Politik
  5. Fakultas Hukum
  6. Fakultas Ekonomi
  7. Fakultas Kedokteran
  8. Fakultas Pertanian
  9. Fakultas Teknik

Semua kegiatan, baik kegiatan akademik maupun administrasi pada saat itu tersebar di beberapa tempat di wilayah Kotamadya Surakarta, sedang khusus Fakultas Kedokteran menempati bekas gedung Fakultas Kedokteran PTPN Veteran Cabang Surakarta di Jalan Kolonel Sutarto No. 150 K Surakarta.

Sebagaimana Fakultas Kedokteran di Indonesia, untuk kegiatan pendidikan mahasiswa menggunakan Rumah Sakit Umum Pusat Surakarta yang sekarang menjadi Rumah Sakit Umum Daerah ( RSUD ) Dr. Moewardi Surakarta yang merupakan Rumah Sakit Pendidikan, berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Nomor : 544/Men.Kes./SKB/X/81043a/U/1981 324 A Tahun 1981 Tanggal : 23 Desember 1981.

SEJARAH RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

Kementerian Kesehatan RI terhadap pimpinan dan pegawai rumah-rumah sakit zending yang ada di Jawa Tengah. Berbeda dengan rumah sakit zending di Yogyakarta, pimpinan dan pegawai rumah sakit zending di Jawa Tengah ini mau menerima tawaran dari Kementerian Kesehatan RI untuk menjadi pegawai negeri. Alasan Kementerian Kesehatan RI dalam melakukan nasionalisasi terhadap rumah sakit zending pada waktu itu selain faktor ekonomi, yaitu minimnya dana yang dipunyai oleh pengelola rumah sakit juga faktor sosial yaitu pentingnya keberadaan sebuah rumah sakit dalam suatu daerah. Setelah dikelola oleh pemerintah RI kesembilan rumah sakit Zending Gereformeerd di Jawa Tengah ini kemudian dijadikan sebagai rumah sakit setempat. Kesembilan rumah sakit tersebut masing-masing di Blora, Klaten, Jebres-Surakarta, Wonosobo, Purwokerto, Magelang, Purbalingga, Purworejo, dan Kebumen. Sementara itu dengan alasan yang sama yaitu masalah biaya, pada tahun 1948 pengelolaan Rumah Sakit Kadipolo diserahkan kepada pemerintah swatantra  Jawa Tengah, namun dengan syarat bahwa keluarga kraton dan pegawai kraton yang dirawat di rumah sakit tersebut mendapat keringanan pembiayaan.

Pada saat itu kemudian muncul suatu rencana untuk mendirikan suatu Rumah Sakit Pusat di Surakarta. Sesudah melalui diskusi dan kajian yang matang akhirnya nama Bale Kusolo dinilai layak untuk dijadikan nama sekaligus identitas bagi rumah sakit di Surakarta. Pengambilalihan Rumah Sakit Bale Kusolo oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI tanggal 2 Maret 1950, No. 384/Sekr./D/7, terhitung mulai tanggal 1 Januari 1950, Rumah Sakit Bale Kusolo diambil alih dan dikelola oleh Pemerintah RI. Surat keputusan ini sekaligus menetapkan nama Rumah Sakit Bale Kusolo diganti dengan nama Rumah Sakit Pusat Surakarta dengan dr. Toha sebagai direktur pertamanya. (Selanjutnya tanggal 1 Januari 1950 ditetapkan sebagai  hari  jadi RSUD Dr.Moewardi Surakarta).

Sejak saat itu di Surakarta terdapat 3 rumah sakit yang semuanya dikelola oleh pemerintah yaitu :

  1. Rumah Sakit “Pusat” Surakarta yang berlokasi di Mangkubumen
  2. Rumah Sakit “Surakarta” yang berlokasi di Jebres
  3. Rumah Sakit “Kadipolo” yang berlokasi di Kadipolo.

Keberadaan ketiga rumah sakit pemerintah di Surakarta itu disatu sisi menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh adanya dua rumah sakit di wilayah yang sama namun keduanya menggunakan nama Surakarta yaitu Rumah Sakit Pusat Surakarta dan Rumah Sakit Surakarta. Untuk mengakhiri polemik dan permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat Surakarta, maka Inspektur Kepala Jawatan Kesehatan Propinsi Jawa Tengah mengirim surat usulan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada tanggal 15 September 1953 dengan nomor surat: K.23429/KK tentang pergantian nama Rumah Sakit di Surakarta. Dalam surat tersebut diusulkan adanya pergantian nama rumah sakit yaitu :

  1. Rumah Sakit Pusat Surakarta menjadi Rumah Sakit Umum Mangkubumen
  2. Rumah Sakit Surakarta menjadi Rumah Sakit Umum Jebres

Penggantian nama itu kemudian dikukuhkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI tanggal 9 Juli 1954 Nomor 44751/R.S.

Seiring dengan penerapan UU No. 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menganut sistem otonomi riil. Undang-undang ini membagi daerah di Indonesia menjadi dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Sehubungan dengan hal itu maka terjadi perubahan pengelolaan ketiga rumah sakit yang ada di Surakarta. Jika pada awalnya ketiganya dikelola oleh pemerintah pusat secara langsung, maka sejak tahun 1957 pengelolaan ketiga rumah sakit itu diserahkan kepada Pemerintah daerah Swatantra Tingkat I Jawa Tengah di Semarang. Namun perubahan pengelolaan rumah sakit ini tidak mengurangi hak, tugas, serta kewajibannya untuk melayani pelayanan kesehatan pada masyarakat.

Selain itu, pemberlakuan undang-undang tersebut juga telah menempatkan masing-masing rumah sakit untuk berdiri sendiri serta bertanggung jawab kepada pemerintah daerah swatantra tingkat I Jawa Tengah. Disamping tugas tetap pelayanan kesehatan kepada masyarakat, ketiga rumah sakit itu juga menyelenggarakan pendidikan bagi tenaga para medis. Keadaan ini dipandang oleh para pengelola ketiga rumah sakit dan juga tokoh masyarakat di Surakarta kurang efektif dan efisien.

Atas dasar pemikiran itu ditambah dengan tujuan untuk mencapai keseragaman serta efisiensi kerja dalam bidang medis-teknis, tata usaha, pendidikan dan juga penghematan uang negara, maka dipandang perlu untuk dilakukan reorganisasi lembaga-lembaga kesehatan yang ada di Surakarta. Tujuan utama dilakukannya reorganisasi ini adalah mempersatukan ketiga rumah sakit itu kedalam satu unit dibawah satu orang pimpinan beserta stafnya. 

Dengan memperhatikan usulan dari Kepala Dinas Kesehatan Rakyat Daerah Swatantra Tingkat I Jawa Tengah tertanggal 19 Februari 1960 No. K.693/UNH, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah memalui surat No. H.149/2/3 tertanggal 1 Maret 1960 memutuskan untuk menyatukan ketiga rumah sakit tersebut kedalam suatu unit organisasi dibawah seorang direktur dengan nama Rumah Sakit “Surakarta”.  Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, ketiga rumah sakit itu kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat I Jawa Tengah. 

Proses penyatuan ketiga rumah sakit ini diserahkan sepenuhnya kepada kepala Dinas Kesehatan Rakyat daerah Swatantra Tingkat I Jawa Tengah dan akhirnya selesai dilakukan pada tanggal 1 Juli 1960 yang untuk selanjutnya dipusatkan di Mangkubumen. Sementara itu masing-masing rumah sakit kemudian menjadi bagian-bagian dari Rumah Sakit Surakarta, yaitu komplek Mangkubumen, Kadipolo, dan Jebres. Untuk selanjutnya, mulai tanggal 1 Juli 1960 Rumah Sakit Surakarta dipimpin oleh seorang dokter yaitu dr. Mas Ariyotedjo, sebagai direktur pertamanya.

Dengan selesainya penyatuan ketiga rumah sakit itu, berangsur-angsur pula pembagian unit-unit dilaksanakan dengan teratur. Untuk mencukupi kebutuhan tenaga medis dan non medis maka dilakukan mutasi diantara ketiga kompleks dan disesuaikan dengan tugas dan keahlian dari para staf tersebut.

Mulai tanggal 1 Juli 1960 Rumah Sakit Surakarta terdiriatas tiga “rumah sakit” yaitu Rumah Sakit Mangkubumen, Rumah Sakit Kadipolo, dan Rumah Sakit Jebres. Dengan tujuan melakukan kesatupaduan diantara ketiganya dalam rangka untuk meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka diadakan spesialisasi di masing-masing unit pelaksana fungsional yang ada di Rumah Sakit Surakarta. Berikut ini adalah identifikasi masing-masing rumah sakit :

  1. Rumah Sakit Kadipolo disebut juga Rumah Sakit Komplek A, khusus untuk pelayanan penyakit dalam. Rumah sakit ini terletak di Kampung Panularan, Kalurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Surakarta. Rumah sakit ini memiliki luas tanah 24.096 m2, dan luas bangunan 5.931 m2.
  2. Rumah Sakit Mangkubumen disebut juga Rumah Sakit Komplek B, untuk pelayanan radiologi, kulit dan kelamin, gigi, mata, THT, chirurgie, neurologi dan lain-lain. Rumah sakit ini terletak di Kampung Mangkubumen, Kalurahan Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, Surakarta. Rumah sakit ini memiliki luas tanah 41.740 m2, diperinci menjadi 2 bagian yaitu: Recth van opstaal (RVO) vervonding 569 dengan luas tanah 32.500 m2.Recth van opstaal (RVO) vervonding 570 dengan luas tanah 9.240 m2.
  3. Rumah Sakit Jebres disebut juga Rumah Sakit Komplek C, khusus untuk pelayanan kebidanan dan penyakit kandungan, kanak-kanak dan keluarga berencana. Rumah sakit yang terletak di Kampung Jebres, Kalurahan Jebres, Kecamatan Jebres, Surakarta ini mempunyai luas tanah 49.622 m2 dan luas bangunan 15.868 m2.

Khusus untuk Rumah Sakit Jebres (Komplek C) sesuai dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah tanggal 12 Agustus 1973 Nomor: Hukum G 171/1973 diberi nama Komplek Rumah Sakit Dr. Moewardi. Mengingat Rumah Sakit Kadipolo (Komplek A) pada perkembangannya dinilai tidak efisien dan tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan sebagai rumah sakit, maka pada bulan September 1976 atas pendapat dari dr. R. Hirlan Saparno Widagdo, selaku Direktur Rumah Sakit Umum “Surakarta” dengan persetujuan dari Inspektur Kesehatan Rakyat Propinsi Dati I Jawa Tengah di Semarang, maka Rumah Sakit Kadipolo berserta peralatan dan perlengkapan medisnya kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Mangkubumen.

Sementara itu pemindahan pasien dari Rumah Sakit Kadipolo ke Rumah Sakit Mangkubumen baru selesai dikerjakan pada pertengahan bulan Januari 1977. Dengan selesainya kepindahan pasien ini maka sejak saat itu Rumah Sakit Kadipolo tidak berfungsi lagi sebagai lembaga pelayanan kesehatan, untuk selanjutnyagedung bekas rumah sakit ini digunakan sebagai Kampus Sekolah Pendidikan Keperawatan (SPK).

Sebagai penghargaan atas jasa pahlawan Dr. Moewardi, yang semula hanya digunakan namanya untuk RS Kompleks Jebres, maka dengan Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Jawa Tengah tanggal 24 Oktober 1988 Nomor: 445/29684 telah ditetapkan pemberian nama yang semula RSUD Kelas B Propinsi Dati I Jawa Tengah di Surakarta (KompleksMangkubumen dan Jebres) menjadi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pergantian nama ini diresmikan pada tanggal 10 November 1988 bersamaan denganhari pahlawan.